Who am I?? Nobody!!

Menulis, bercerita, berkisah dan (mungkin) berkeluh kesah, itulah yang ingin saya lakukan sejak lama melalui wordpress ato media online yang lain di waktu senggang. Tapi kesibukan, kemalasan dan rasa kurang PeDe lah yang menyebabkan semua itu hanya menjadi cita-cita belaka (Halah, kok ada aja alasannya he..he..he..he..). Moga2 tulisan pertama ini, tentang siapa saya yang bukan siapa-siapa, menjadi awal hobi untuk menulis.

Subuh menjelang ketika 32.5 tahun yang lalu saya dilahirkan (Ya Allah, kalo diukur dengan umur Nabi SAW berarti saya sudah menghabiskan setengah jatah hidup) . Sebuah rumah kontrakan kecil di pinggir jalan raya Nganjuk – Madiun, di Kecamatan Caruban tepatnya, menjadi saksi kebahagiaan sepasang suami istri ketika anak pertamanya lahir. Ya, saya anak pertama. Bagi yang pernah menjadi orang tua, pasti merasakan bagaimana bahagianya mendapat anak pertama. Mungkin seperti itulah juga perasaan beliau berdua saat itu. Memang tidak banyak yang bapak ibu ceritakan soal kelahiran saya. Well, I just assume that all went well at those time. Ok, lanjoott!!

Menjelang 9 bulan, keluarga kami pindah ke Ngawi, mengikuti ibu yang berdinas sementara di Artileri Medan Angkatan Darat Ngawi sebagai bidan. Sempat melewatkan ulang tahun pertama disana sebelum kemudian bapak dan ibu memutuskan pindah ke Kediri, for some reasons.

Saat berumur sekitar 3 tahun, lagi-lagi orang tua pindah ke Blitar karena ibu mendapatkan pekerjaan sebagai bidan di RSUD Mardi Waluyo. Benar-benar nomaden nih di 3 tahun kehidupan pertama saya. Ah, gak jadi soal toh saya jg belum ngerti apa2 waktu itu. Mungkin karena kali ini ibu berstatus PNS, menjadi titik balik kehidupan yang menetap di satu kota (sampai sekarang pun beliau masih tinggal di Blitar). Di kota ini juga 2 saudara saya lahir, yang pertama berjarak 4 tahun dari saya dan yang kedua 15 tahun, dan kami…cowok semua.  Jadi bisa bayangin kalo pada berantem gimana lah. Hmm, betapa pusing dan gregetannya ibu lihat kelakuan kami-kami saat anak-anak. Well, I believe you miss that time, mum.

Meskipun begitu banyak hal terjadi, senang dan sedih, selama tumbuh dan berkembang di Blitar, tapi saya pikir tidak ada highlight khusus yang perlu ditulis disini (ato mungkin ditulis di lain waktu). Menghabiskan 2 tahun sekolah di TK Pertiwi, kemudian melanjutkan di SDK Santa Maria, SMPN 1 Blitar dan SMAN 1 Blitar. kalo ditanya prestasi di sekolah?? Well, saya bukan langganan 3 besar lah tp jg bukan 3 terbawah.

Keinginan dan cita-cita yang sudah tertanam sejak kelas 2 SMA untuk masuk jurusan Teknik Pertambangan akhirnya membawa saya merantau ke Palembang. Tahun 1999, ketika saya lulus SMA, hanya ada 2 univeritas negeri yang mempunyai jurusan tesebut, ITB dan Universitas Sriwijaya. Berhubung tidak tersaring UMPTN di pilihan pertama, akhirnya saya ikhlas masuk di pilihan kedua. Toh masih negeri juga, pikir saya waktu itu

Awal-awal kehidupan di palembang menjadi masa-masa terberat dalam hidup saya, sejauh ini. Saat itu untuk pertama kalinya saya merantau, hidup jauh dari orang tua, uang jajan terbatas dan masih banyak lagi “cerita sedih” membuat saya harus rela kehilangan 12kg berat badan saya dalam 6 bulan pertama. Ah, mungkin rada lebay bagi beberapa orang ato mungkin dianggap saya waktu itu tidak cukup siap untuk merantau..Mungkin ada benarnya juga, harusnya waktu itu saya cukup dewasa untuk mengurus diri saya sendiri sehingga nggak perlu termehek-mehek pas hidup jauh dari orang tua. Toh akhirnya waktu lah yang akhirnya membuat saya pelan-pelan menikmati kehidupan di tempat itu hingga akhirnya betah dan krasan.

Menyelesaikan study dalam waktu 5 tahun 2 hari, plus beberapa bulan buat revisi dan wisuda, akhirnya pada January 2005 saya harus meninggalkan Palembang untuk menjalani “status” baru. Yea, I got my first job!!. Ada perasaan sama tapi berbeda saat datang pertama kali dan meninggalkan Palembang. Istilah gaulnya same same but different. Sama-sama sesak di dada, tetapi kali ini lebih kepada perasaan sedih karena terlanjur cinta dan menikmati segala kondisi di sana lah yang menyebabkan perasaan itu muncul. Apapun itu, life must go on dan saya harus pergi dari kota itu dengan semua kenangan.

Setelah menghabiskan 9 bulan pertama di sebuah kontraktor pertambangan kecil di Kalimantan timur sebagai mandor lapangan, saya memutuskan hijrah ke salah satu tambang emas milik perusahaan Australia di Kalimantan Tengah. Jadwal kerja yang “manusiawi”, posisi yang lebih mendekati my education background dan remuniration lah yang membuat saya pindah. Roster kerja 4 weeks on and 2 weeks off juga menjadi pertimbangan yang masuk akal saat itu.

Menikah di usia 26 tahun dengan teman seangkatan SMA di Blitar yang baru saya kenal 6 bulan sebelum menikah (Lha kok bisa teman SMA seangkatan gak saling kenal??? Allahu A’lam, saya juga bingung), dikaruniai seorang putri 1 tahun 2 hari setelah pernikahan dan balance life between career and my family membuat saya sangat menikmati masa-masa itu. Karena bekerja dengan sistem roster, istri saya tetap tinggal di Blitar sementara saya kerja di Kalimantan Tengah selama 4 minggu. Jadi lebih seperti 4 minggu jadi Bang Toyib, 2 minggu pulang ke rumah.

Tapi seiring dengan waktu, pola pikir manusia sering menjadi berubah. Saya mengalami hal itu ketika waktu 2 minggu off  menjadi waktu yang sangat terbatas menemani anak dan istri di rumah. Terutama ketika anak saya mulai belajar tengkurap, bicara, pegang benda. Saya merasa kehilangan moment berharga dalam berkembangan dia akibat 4 minggu kerja di hutan. Alhamdulillah di tengah “kegalauan” mencari solusi keseimbangan antara keluarga dan karir, datang tawaran pekerjaan dari salah satu tambang emas dan tembaga terbesar di Indonesia, di Pulau Sumbawa tepatnya, milik perusahaan dari USA. Timang dan timbang, dengan roster kerja 4 days on and 4 days off, akhirnya saya memutuskan hijrah setelah 3 tahun berkarier di Kalimantan Tengah.

Ternyata keputusan untuk hijrah dari Blitar ke Mataram menjadi masa sulit buat anak dan istri. Saat di Blitar kita tinggal di rumah sendiri terpisah dari orang tua (Ya, kedua orang tua kami sama-sama tinggal di Blitar), dan ada seorang helper yang membantu kita sehari-hari. Tuntutan mandiri dan mengurus semuanya  sendiri menjadi tantangan yang menarik. Kesalahan yang sama buat saya setelah kejadian di Palembang. Kurang cukup mempersiapkan keluarga untuk  hidup mandiri sementara ada kenyataan bahwa susah mencari helper yang betahan di kota ini. Di Mataram ini juga anak kedua kami, laki-laki,  lahir. Alhamdulillah sudah diberi sepasang perempuan dan laki-laki semakin menggenapkan kebahagiaan kami.

Lagi-lagi, memang mungkin manusia memang ditakdirkan untuk tidak pernah puas. Awal 2010 terjadi booming pertambangan di seluruh dunia. Orang dengan background pendidikan seperti saya laris manis bak kacang goreng. Tak terkecuali saya, akhirnya ikut iseng-iseng berhadiah melamar kesana kemari lewat internet dengan tujuan benua selatan, ya Australia. Menjelang akhir 2010, kesempatan itu datang. Salah satu konsultan pertambangan menyodori saya working agreement, plus visa sponsorship untuk menjadi TKI alias pekerja migran (semoga tidak diplesetkan menjadi pekerja migraine)  di Perth, Western Australia. Setelah melalui omong-omong tingkat dewa dengan keluarga, nyuwun petunjuk lan keyakinan marang Gusti Allah dan memikirkan semua konsekuensinya, akhirnya saya putuskan mengambil tantangan itu.

Butuh waktu beberapa bulan untuk persiapan dokumentasi dan pengurusan visa sebelum akhirnya tanggal 4 April 2011 menjadi awal hidup saya di negeri orang. Pindah ke negara orang bukan hal yang mudah tapi ternyata juga bukan hal yang mengerikan. Hanya perlu 1 bulan untuk mempersiapkan semuanya sebelum keluarga kecil saya menyusul. Untuk pertama kali selama berkeluarga, akhirnya saya benar-benar merasakan at home every night. Jelas bukan kebahagiaan yang bisa ditukar dengan uang.

Sayang, saya tak bertahan lama di konsultan tersebut. Jiwa saya yang lebih ke lapangan dan mine operation sangat menyulitkan untuk beradaptasi dengan kondisi di perusahaan konsultansi. Hal itu membuat saya hengkang ke perusahaan tambang emas hanya 9 bulan setelah datang pertama kali di Perth. Beruntungnya, kali ini saya mendapat posisi di kantor pusat mereka di Perth, meskipun kadang harus tetap datang ke lokasi project untuk urusan pekerjaan. Yach, paling nggak saya merasa kehidupan keluarga dan karir masih seimbang.

Hingga kini saya masih menetap disini, tak tahu sampai kapan. Semua tergantung rejeki dari Allah karena Dia yang mengatur jalan hidup kita semua. Yang jelas saya masih sangad sangad menikmati semua hal yang diberikan Allah sejauh ini. Hanya hati ini yang mampu menggambarkan bagaimana rasa syukur atas apa yang saya dapatkan sekarang. Ini semua adalah dari Allah dan semoga saya mampu menjaga amanah ini dan menikmatinya dengan baik

Duketon,

Early of Summer

Categories: Personal | Leave a comment

Post navigation

Leave a comment

Create a free website or blog at WordPress.com.